Tuesday 12 April 2016

Islam Bukan Identitas

KONSEKUENSI meyakini Islam sebagai the way of life (hudan li al-annas) me­maksa untuk merelevansikan nilai­-nilainya dalam se­tiap epos perubahan sejarah manusia. Ajarannya harus menemukan aktualitas dalam meruang dan mewaktu. Keterge­seran agama oleh nalar modernisme dengan sekularisasinya dijadikan momentum untuk membangkitkan ajaran Islam karena saat bersamaan modern­isme juga mendatangkan dampak negatif. Akhirnya, oleh sebagian umatnya, Islam dimunculkan sebagai solusi atas semua jawaban persoalan kehidupan manusia. Seluruh ma­nusia rindu merengkuh kembali spiritualitas yang pernah hi­lang. Rating stasiun­-stasiun televisi tiba-­tiba naik setelah mena­yangkan program yang berbau agama. Setiap tahun jamaah haji Indonesia tidak pernah surut, sekalipun lilitan ekonomi bangsa terus menyusut. Sisi lain, diam seribu bahasa melihat jutaan manusia tewas karena kelaparan. 

Islam terlanjur diimani oleh para pemeluknya ti­dak hanya sebagai agama, tetapi juga menjadi satu sistem yang menyuguhkan aturan-­aturan di dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Since its origin, Islam has always been not only a religion but also a definite religio­social system with this worldly interests. Demikian ungkap Montgomerry Watt (1961). Dalam nalar yang demikian, Islam merupakan ajaran yang universal (kâffah), mencakup jawaban segala komponen persoalan manusia. Islam dipercaya seperti panacea (obat segala penya­kit) bagi seluruh totalitas persoalan yang dihadapi manusia. Setiap ada persoalan, Islam akan menyelesaikannya. Demi­kianlah Islam yang diyakini para pemeluknya selama berabad­-abad lamanya. Maka, muncul kemudian, ekonomi Islam, demo­krasi Islam, dan cap Islam lainnya. Bahkan kata Islam seolah niscaya hadir dalam bahasa ilmu pengetahuan. Jika tidak menampilkan Islam, sesuatu itu menjadi tidak Islami, tidak sesuai dengan syari'at agama. Disinilah istilah Islami direduksi hanya sebatas simbol. 

Arus globalisasi yang menyeragamkan identitas pada satu sisi dan membangkitkan kontestasi identitas lokal pada sisi lain menggiring kerinduan manusia akan identitas “azali” (asli) mereka (Amin Maalouf: 2004). Kontestasi mengandaikan adanya ketegangan antar­identitas, yakni identitas dominan vis-a- vis devian pinggiran. Akhirnya, Islam yang seharusnya mendamaikan identitas yang bersitegang (QS Al­Hujurât [49]: 13) justru berubah menjadi identitas baru bagi pemeluknya. Islam tiba­-tiba muncul di mana­-mana dengan berbagai jubah identitas. Manusia modern dan global yang butuh identitas jati dirinya, akhirnya merasa nyaman dengan model praktik agama seperti ini. Alih­-alih akan memberikan solusi krisis iden­titas manusia, justru saat itulah agama bisa menjadi masalah. Membekukan Islam sebagai identitas menjadikan Islam mudah dimanipulasi untuk melindungi segala kepentingan yang bukan kepentingan mulia agama itu sendiri.  
Menyemayamkan Islam (agama) menjadi identitas mendo­rong keinginan untuk politisasi terhadap agama. Pandangan yang menjadikan agama sebagai identitas ini dapat menggiring salah diagnosa dalam melihat konflik agama yang cenderung menyalahkan kepada orang yang menjadikan mempolitisasi agama, tetapi tidak melihat faktor yang mendorong terjadinya politisasi terhadap agama itu sen­diri. Islam yang dijadikan sebatas identitas mengundang untuk dipolitisasi oleh orang-orang yang berkepentingan. Tidak hanya untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Tetapi juga untuk mendatangkan uang dan kapital. Reaksi berlebihan umat Islam terhadap berbagai macam aliran, baik seprti Syi'ah, Sunni, dan sebagainya menun­jukkan betapa mudahnya Islam dimobilisasi hanya cukup de­ngan sedikit mengusik simbol-­simbol identitasnya. Karena itu, praktik politisasi terhadap Islam merupakan akibat dari mem­perlakukan Islam sebagai sebuah identitas.  Padahal, Islam lebih dari sekedar identitas, Islam melampaui identitas.


Pada aras selanjutnya, pergumulan tidak hanya terjadi da­ lam Islam secara eksternal, tetapi juga menjadi masalah di da­ lam tubuh Islam sendiri. Seperti berhadap­hadapannya Islam bercorak Arab dengan Islam yang berakulturasi dengan budaya Nusantara. Islam yang bercorak Nusantara dengan peci dan sarungnya digerus oleh supremasi Islam yang bercorak Arab dengan serban dan jubahnya, karena Islam yang pertama tidak sesuai dengan identitas Islam. Corak yang pertama diposisikan sebagai yang salah dan menyimpang (baca: bid’ah), sementara yang kedua dianggap sebagai pemegang otentisitas Islam. Hal itu menunjukkan betapa Islam yang merupakan sebuah nilai moral disempitkan sebatas simbol dan identitas. 

Dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan, Islam yang mengidentitas tidak lagi menjadi produktif dalam menyumbang­kan ilmu pengetahuan. Hampir tidak ditemukan pemikir Islam yang menyumbang kemajuan ilmu kontemporer pada abad ke-21 ini, kecuali hanya sibuk mencari pembenaran teks atas ilmu yang sedang berkembang atau lahir dari pemikir-pemikir di luar Islam. Umat Islam pada posisi ini hanya bergerak defensif dan pasif yang hanya memberikan cap halal atau haram terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung. Islam berposisi bertahan dan malas terjun langsung dan bertarung dalam pergulatan ilmu pengetahuan. Inilah yang menyebabkan Islam hanya menjadi penonton bagi perkembangan pengetahuan. Bahasa teks agama dianggap me­lampaui segalanya. Parahnya, ayat Tuhan hanya dipahami lem­baran teks (qauliyah) an sich, tetapi tidak dalam hamparan alam semesta ini (kauniyah). 

Menggumpalnya Islam sebagai identitaberakar dari struktur keyakinan yang tidak mampu memilah antar ruang sakralitas dan profanitas teks Al­-Quran. Kebanyakan umat Islam cenderung melihat teks Al­-Quran mutlak sepenuhnya maksud Tuhan, sehingga berangapan ti­dak ada ilmu dan kebenaran di luar Al-­Quran. Sehingga, hasil pemahaman terhadap teks yang kemudian menjadi praktik diklaim sebagai identitas Islam yang murni atau otentik. Padahal, wahyu Tuhan yang tidak terbatas ketika dijadikan al-Qur'an menggunakan bahasa manusia (QS suf [12]: 02) yang terbatas (QS Al­Isrâ[17]: 109), karenanya teks pun menjadi terbatas, tapi maknanya tidak terbatas. Teks terbatas dan hasil pemahaman terhadap teks pun menjadi terbatas. Ingat, bahasa Tuhan di dalam al-Qur'an adalah bahasa manusia yang digunakan Tuhan agar manusia bisa mengerti. Karena itu adalah bahasa manusia (bahasa Arab), maka bahasa itu pun terbatas. Karena pemahaman terbatas, maka praktik yang dihasilkan dari pemahaman teks tidak bisa dijadikan sebagai identitas, apalagi sebagai identitas keseluruhan Islam.

Karena itu, kita harus keluar dari kungkungan identitas keislaman yang kaku. Identitas Islam tidak tunggal, tidak stag­ nan, tidak terkatakan, dan tidak berwujud. Artinya, identitas Islam bukan bahasa atau simbol­simbol melainkan jiwa dari simbol dan bahasa tersebut. Sebagai sebuah jiwa, dia tidak mengendap dalam satu ruang semata, melainkan berada dalam tiap­tiap ruang. Sebab, Islam itu begitu luas, sehingga tidak bisa mengendap hanya dalam satu simbol yang kemudian dijadikan sebagai identitas. Dalam diri personal, Tuhan menyebutnya de­ ngan takwa, manusia membahasakannya dengan spiritualitas. Orang yang dianggap baik oleh Tuhan bukan orang yang ber­ serban, berjenggot, dahi hitam, atau bersarung, melainkan orang yang berjiwa mulia (baca: takwa). Dengan demikian, sesuatu yang Islami bukan karena dia menampilkan simbol­ simbol, melainkan bersikap rahmat dan menyayangi hidup dan kehidupan. Itulah esensi Islam sebagai petunjuk manusia (hudan li al-nâs). Wallahu A'lam. (Ditulis oleh Agus Himan)